Aku Tahu Aku Memang Keliru
Sudah lama Abu Jahal bersahabat akrab dengan Abu Dzar Al Ghiffari.
Bahkan sebelum Islam masuk.
Tidak heran, karena keduanya adalah saudagar yang sama-sama mengadu keuntungannya dengan berdagang.
Keduanya terkenal sebagai rakan kongsi dagang yang saling menguntungkan.
Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Makkah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang hanya dijual dengan perantaraan Abu Jahal.
Tetapi hari itu alangkah hairannya Abu Jahal,
ketika kedatangan Abu Dzar ternyata tidak disertai dengan barang apapun seperti biasanya. Apalagi wang perniagaan.
“Kau membawa barang dagangan, hai sahabatku,” Abu Jahal yang mempunyai nama asli Amr bin Hisyam ini bertanya.
“Seperti yang kau lihat, tidak,” Abu Dzar menjawab.
“Engkau membawa wang?” tanya Abu Jahal semakin bingung dan hairan.
“Wah, juga tidak.”
Abu Jahal merengut mendengar jawaban sahabatnya itu.
Dengan masih diliputi tanda tanya besar, ia berkata lagi, “Ada apa denganmu? Apa yang membuat kamu datang jauh-jauh ke Makkah tanpa membawa barang dagangan ataupun wang?
Adakah tujuanmu yang lain?”
Abu Dzar tersenyum dan tetap bersikap tenang. “Sahabatku, Abu Jahal,” ujarnya,
“Kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan.”
Dahi Abu Jahal berkerut. “Lantas untuk apa?”
“Aku ingin bertemu dengan anak saudaramu.”
“Hah, kau ingin bertemu dengan anak saudaraku?” Abu Jahal tidak mengerti.
Sungguh, tapi tampaknya ia sudah mulai curiga. “Siapa yang kaumaksud?”
“Muhammad.”
“Muhammad?”
“Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, anak saudaramu itu telah diangkat menjadi seorang Rasul. Engkau harus bangga mempunyai anak saudara semulia itu, sahabatku.” Abu Dzar berkata dengan senyum, tapi kemudian merasa hairan kerana tidak mendapatkan jawaban apapun dari orang yang ada di hadapannya itu.
Sejurus kemudian, terlihat kerut di wajah Abu Jahal. Ia berkata dengan suara keras, “Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat. Jangan kau temui dia! Sekali-kali jangan pernah menemui anak saudaraku itu!”
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Abu Dzar Al Ghiffari.
Abu Jahal menarik nafas sejenak.
Ia memandangi wajah Abu Dzar dan kemudian berkata, “Kautahu, Muhammad itu amat menarik. Ia sangat mempesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kau pasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya amat lembut, dan sopan membacakan wahyu, semua kalimatnya menyentuh jiwa.”
Kali ini Abu Dzar yang ganti memandangi wajah Abu Jahal dengan lekat.
“Aku tidak mengerti. Tapi, apa itu bererti kau yakin dia seorang Rasul?”
Abu Jahal mengangguk dengan tegas dan cepat.
“Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang Rasul. Otaknya teramat pintar-bahkan cerdas. Walaupun ia tidak bisa membaca ataupun menulis. Ia baik kepada semua orang tua ataupun muda, budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apapun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali.”
“Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku,” Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau kata kau yakin bahwa anak saudaramu itu adalah seorang Rasul.”
“Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikitpun.”
“Kau percaya bahwa ia benar?”
“Lebih dari sekadar percaya.”
“Tapi engkau melarangku untuk menemuinya…”
Abu Jahal mengangkat bahunya. “Begitulah….”
“Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?”
Abu Jahal tampak menarik kedua alisnya. Roman mukanya berubah merah. “Ulangi sekali lagi pertanyaanmu…”
“Engkau mengikuti agamanya, menjadi pemeluk Islam?” Abu Dzar kembali mengulangi perkataannya seperti yang diperintahkan oleh Abu Jahal.
Kali ini Abu Jahal begitu geram. “Sahabatku,” ujarnya dengan nada suara yang tertahan, “sampai detik ini, dan nanti-nantinya aku adalah Abu jahal dan tetap Abu Jahal. Aku bukan orang yang sinting. Otakku belum miring. Dibayar berapapun aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!”
“Tapi bukankah kau yakin Muhammad itu benar?”
“Sahabatku, catat ini, walaupun aku yakin bahwa Muhammad itu memang benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapanpun jua. Sampai titik darah penghabisanku.” Abu Jahal menggerung.
“Apa sebabnya?”
“Kau tahu, sahabatku Abu Dzar Al Ghiffari, jika aku menjadi pengikut aak saudaraku sendiri, maka kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?”
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya, “Pendirianmu keliru, sahabatku.”
“Aku tahu aku memang keliru.”
“Engkau akan kalah kelak oleh kekeliruanmu itu.”
“Baik, biar saja aku kalah. Bahkan aku tahu di akhirat kelak bakal dimasukkan ke dalam neraka jahim. Tapi aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia, walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan.”
Sambil berkata begitu, Abu Jahal beranjak meninggalkan Abu Dzar Al Ghiffari yang terdiam. Tampaknya, Abu Dzar tidak habis mengerti betapa anehnya perilaku dan sikap Abu Jahal itu dalam menerima kebenaran hanya karena berasal dari anak saudaranya sendiri.
p/s : buangkan sejuta rasa EGO di dalam diri untuk menerima walau secebis kebenaran...biarpun kebenaran itu datang dari mulut seorang kanak-kanak...
Dikongsi dari Blog :
Menjadi pribadi yang bermanfaat
"SAAT AKU MENYAMPAIKAN SUATU KEBAIKAN KEPADAMU, BUKANNYA AKU HENDAK MEMBERIKAN NASIHAT AKAN KEKURANGANMU SAHABAT..TAPI AKU SEKADAR MENJADIKAN DIRIMU SEBAGAI PERANTARA, AGAR NASIHAT ITU SAMPAI KEPADA DIRIKU."MENGARAHKAN WAJAH KE CERMIN, BUKAN BERERTI MENCARI-CARI KEKURANGAN CERMIN, NAMUN HAKIKATNYA ADALAH MENCARI KEKURANGAN DIRI UNTUK DIPERBETULKAN AGAR LEBIH BAIK, DENGAN "perantaraan cermin"
Bahkan sebelum Islam masuk.
Tidak heran, karena keduanya adalah saudagar yang sama-sama mengadu keuntungannya dengan berdagang.
Keduanya terkenal sebagai rakan kongsi dagang yang saling menguntungkan.
Setiap kali Abu Dzar datang ke kota Makkah, ia selalu membawa barang-barang dagangan yang hanya dijual dengan perantaraan Abu Jahal.
Tetapi hari itu alangkah hairannya Abu Jahal,
ketika kedatangan Abu Dzar ternyata tidak disertai dengan barang apapun seperti biasanya. Apalagi wang perniagaan.
“Kau membawa barang dagangan, hai sahabatku,” Abu Jahal yang mempunyai nama asli Amr bin Hisyam ini bertanya.
“Seperti yang kau lihat, tidak,” Abu Dzar menjawab.
“Engkau membawa wang?” tanya Abu Jahal semakin bingung dan hairan.
“Wah, juga tidak.”
Abu Jahal merengut mendengar jawaban sahabatnya itu.
Dengan masih diliputi tanda tanya besar, ia berkata lagi, “Ada apa denganmu? Apa yang membuat kamu datang jauh-jauh ke Makkah tanpa membawa barang dagangan ataupun wang?
Adakah tujuanmu yang lain?”
Abu Dzar tersenyum dan tetap bersikap tenang. “Sahabatku, Abu Jahal,” ujarnya,
“Kali ini kedatanganku bukan untuk mengadu untung dalam perdagangan.”
Dahi Abu Jahal berkerut. “Lantas untuk apa?”
“Aku ingin bertemu dengan anak saudaramu.”
“Hah, kau ingin bertemu dengan anak saudaraku?” Abu Jahal tidak mengerti.
Sungguh, tapi tampaknya ia sudah mulai curiga. “Siapa yang kaumaksud?”
“Muhammad.”
“Muhammad?”
“Ya. Kudengar dari beberapa sahabatku bahwa Muhammad, anak saudaramu itu telah diangkat menjadi seorang Rasul. Engkau harus bangga mempunyai anak saudara semulia itu, sahabatku.” Abu Dzar berkata dengan senyum, tapi kemudian merasa hairan kerana tidak mendapatkan jawaban apapun dari orang yang ada di hadapannya itu.
Sejurus kemudian, terlihat kerut di wajah Abu Jahal. Ia berkata dengan suara keras, “Sahabatku, dengarkanlah aku jika kau ingin selamat. Jangan kau temui dia! Sekali-kali jangan pernah menemui anak saudaraku itu!”
“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya Abu Dzar Al Ghiffari.
Abu Jahal menarik nafas sejenak.
Ia memandangi wajah Abu Dzar dan kemudian berkata, “Kautahu, Muhammad itu amat menarik. Ia sangat mempesona. Sekali berjumpa dengannya, aku jamin kau pasti akan benar-benar terpikat dengannya. Wajahnya bersih, perkataannya berisi mutiara indah dan selalu benar. Perilakunya amat lembut, dan sopan membacakan wahyu, semua kalimatnya menyentuh jiwa.”
Kali ini Abu Dzar yang ganti memandangi wajah Abu Jahal dengan lekat.
“Aku tidak mengerti. Tapi, apa itu bererti kau yakin dia seorang Rasul?”
Abu Jahal mengangguk dengan tegas dan cepat.
“Jelas. Mustahil rasanya jika ia bukan seorang Rasul. Otaknya teramat pintar-bahkan cerdas. Walaupun ia tidak bisa membaca ataupun menulis. Ia baik kepada semua orang tua ataupun muda, budi pekerti dan akhlaknya sangat mulia. Satu hal lagi yang perlu kauketahui, ia sangat tabah menghadapi apapun yang terjadi padanya. Ia mempunyai daya tarik yang hebat sekali.”
“Aku tidak habis mengerti terhadapmu, Abu Jahal sahabatku,” Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau kata kau yakin bahwa anak saudaramu itu adalah seorang Rasul.”
“Yakin betul. Aku tidak pernah meragukannya sedikitpun.”
“Kau percaya bahwa ia benar?”
“Lebih dari sekadar percaya.”
“Tapi engkau melarangku untuk menemuinya…”
Abu Jahal mengangkat bahunya. “Begitulah….”
“Lalu, apakah engkau mengikuti ajaran agamanya?”
Abu Jahal tampak menarik kedua alisnya. Roman mukanya berubah merah. “Ulangi sekali lagi pertanyaanmu…”
“Engkau mengikuti agamanya, menjadi pemeluk Islam?” Abu Dzar kembali mengulangi perkataannya seperti yang diperintahkan oleh Abu Jahal.
Kali ini Abu Jahal begitu geram. “Sahabatku,” ujarnya dengan nada suara yang tertahan, “sampai detik ini, dan nanti-nantinya aku adalah Abu jahal dan tetap Abu Jahal. Aku bukan orang yang sinting. Otakku belum miring. Dibayar berapapun aku tidak akan menjadi pengikut Muhammad!”
“Tapi bukankah kau yakin Muhammad itu benar?”
“Sahabatku, catat ini, walaupun aku yakin bahwa Muhammad itu memang benar, aku tetap akan melawan Muhammad sampai kapanpun jua. Sampai titik darah penghabisanku.” Abu Jahal menggerung.
“Apa sebabnya?”
“Kau tahu, sahabatku Abu Dzar Al Ghiffari, jika aku menjadi pengikut aak saudaraku sendiri, maka kedudukan dan wibawaku akan hancur. Akan kuletakan di mana mukaku di hadapan bangsa Quraisy?”
Abu Dzar menggeleng-gelengkan kepalanya, “Pendirianmu keliru, sahabatku.”
“Aku tahu aku memang keliru.”
“Engkau akan kalah kelak oleh kekeliruanmu itu.”
“Baik, biar saja aku kalah. Bahkan aku tahu di akhirat kelak bakal dimasukkan ke dalam neraka jahim. Tapi aku tidak mau dikalahkan Muhammad di dunia, walaupun di akhirat sana aku pasti dikalahkan.”
Sambil berkata begitu, Abu Jahal beranjak meninggalkan Abu Dzar Al Ghiffari yang terdiam. Tampaknya, Abu Dzar tidak habis mengerti betapa anehnya perilaku dan sikap Abu Jahal itu dalam menerima kebenaran hanya karena berasal dari anak saudaranya sendiri.
p/s : buangkan sejuta rasa EGO di dalam diri untuk menerima walau secebis kebenaran...biarpun kebenaran itu datang dari mulut seorang kanak-kanak...
Dikongsi dari Blog :
Menjadi pribadi yang bermanfaat
"SAAT AKU MENYAMPAIKAN SUATU KEBAIKAN KEPADAMU, BUKANNYA AKU HENDAK MEMBERIKAN NASIHAT AKAN KEKURANGANMU SAHABAT..TAPI AKU SEKADAR MENJADIKAN DIRIMU SEBAGAI PERANTARA, AGAR NASIHAT ITU SAMPAI KEPADA DIRIKU."MENGARAHKAN WAJAH KE CERMIN, BUKAN BERERTI MENCARI-CARI KEKURANGAN CERMIN, NAMUN HAKIKATNYA ADALAH MENCARI KEKURANGAN DIRI UNTUK DIPERBETULKAN AGAR LEBIH BAIK, DENGAN "perantaraan cermin"
Ulasan